Rabu, 23 November 2011

Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pendahuluan

Sumber daya alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Yang tergolong di dalamnya tidak hanya komponen biotik, seperti hewan, tumbuhan, danmikroorganisme, tetapi juga komponen abiotik, seperti minyak bumi, gas alam, berbagai jenis logam, air, dan tanah. Inovasi teknologi, kemajuan peradaban dan populasi manusia, serta revolusi industri telah membawa manusia pada era eksploitasi sumber daya alam sehingga persediaannya terus berkurang secara signifikan, terutama pada satu abad belakangan ini. Sumber daya alam mutlak diperlukan untuk menunjang kebutuhan manusia, tetapi sayangnya keberadaannya tidak tersebar merata dan beberapa Negara seperti Indonesia, Brazil,Kongo, Sierra Leone, Maroko, dan berbagai negara di Timur Tengah memiliki kekayaan alam hayati atau nonhayati yang sangat berlimpah. Sebagai contoh, negara di kawasan Timur Tengah memiliki persediaan gas alam sebesar sepertiga dari yang ada di dunia dan Maroko sendiri memiliki persediaan senyawa fosfat sebesar setengah dari yang ada di bumi. Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam ini seringkali tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut.
Pada umumnya, sumber daya alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak dieksploitasi berlebihan. Tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar matahari, angin, dan air adalah beberapa contoh SDA terbaharukan. Walaupun jumlahnya sangat berlimpah di alam, penggunannya harus tetap dibatasi dan dijaga untuk dapat terus berkelanjutan. SDA tak dapat diperbaharui adalah SDA yang jumlahnya terbatas karena penggunaanya lebih cepat daripada proses pembentukannya dan apabila digunakan secara terus-menerus akan habis. Minyak bumi, emas, besi, dan berbagai bahan tambang lainnya pada umumnya memerlukan waktu dan proses yang sangat panjang untuk kembali terbentuk sehingga jumlahnya sangat terbatas., minyak bumi dan gas alam pada umumnya berasal dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang hidup jutaan tahun lalu, terutama dibentuk dan berasal dari lingkungan perairan.Perubahan tekanan dan suhu panas selama jutaaan tahun ini kemudian mengubah materi dan senyawa organik tersebut menjadi berbagai jenis bahan tambang tersebut.


Jakarta, Kompas - Sebanyak 12 undang-undang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak konsisten dalam substansinya. Kondisi itu memprihatinkan tidak hanya masa sekarang, tetapi justru bagi masa depan pengelolaan lingkungan.

Kesimpulan itu muncul dalam kajian kritis yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin (23/3). ”Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda,” kata salah satu pengkaji, guru
besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono.

Ada tujuh aspek tolok ukur yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya. ”Ada yang semangatnya konservasi, ada yang eksploitasi, atau keduanya. Kalau tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, semestinya ada akses yang memungkinkan bagi rakyat,” kata Maria.

Faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.

Undang-undang itu di antaranya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan.

Menurut pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu.

Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta. ”Masing-masing sektor masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan SDA,” katanya.

*Peran legislatif *

Guru besar Hukum UGM Nurhasan Ismail mengatakan, masih ada kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Salah satunya peran DPR untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor.

”Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah konsisten. DPR bisa lakukan itu, tidak lagi hanya urusan politiknya saja,” ujarnya.

Ia menilai egosektoral yang tercermin pada UU sudah parah. Masing-masing departemen/kementer ian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah. ”Selama begitu ya tidak akan pernah konsisten,” kata Nurhasan.

Maria mengatakan, syarat lain pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Ia menyebut RUU Pengelolaan SDA yang sejak tahun 2001 belum juga disahkan DPR.

”Nantinya seluruh UU yang ada (harus) menyesuaikan dengan pijakan bersama yang berisi prinsip-prinsip itu,” kata Maria. Tanpa itu, ia menilai pengarusutamaan akan sangat berat diwujudkan. 
Dalam bentuk presentasi :



Contoh video :


Referensi :
www.youtube.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar